PENDAHULUAN
Buku yang hadir di hadapan pembaca
ini adalah sejarah Sulawesi Selatan pada kisaran abad XVII dan XVIII dengan
tokoh sentral penceritannya, Arung Palakka. Namun, membuka tiap lembaran buku
ini seperti tidak sedang membaca buku-buku teks sejarah yang formal pada
umumnya. Narasi sejarah yang dibangun dikemas seolah kita sedang membaca buku
cerita, novel atau paling tidak sebuah roman sejarah. Format seperti ini
bukannya tidak disadari bahkan justru disengaja penulisnya untuk menghadirkan
sebuah bacaan sejarah yang lebih populer, sehingga akan lebih banyak kalangan
baik dari berbagai latar belakang ataupun jenjang usia yang tertarik untuk
membaca dan mengetahui sejarah. Suatu pengalaman bahwa ketertarikan dan juga pengetahuan
akan sejarah lokal sangat rendah, tidak saja pada kalangan masyarakat luas
bahkan juga di lingkungan perguruan tinggi.
PEMBAHASAN
A. Kritik
Eksternal
Judul
Buku : Filosofi Arung
Palakka
Penulis : Suriadi Mappangara
Penerbit : Ombak-Yogyakarta
Cetakan : Ke-1
Tahun : 2016
Editor :
Nahdia Nur, M.Hum.
Tata
Letak : Ridwan
Sampul : Dian Qamajaya
Jumlah
Halaman : xxviiii+325 Halaman
Ukuran : 14,5 x 21
cm
Text
Bahasa : Indonesia
Kategori : Sejarah Indonesia
B. Kritik
Internal
1. Penulis
Buku Filosofi Arung Palakka ditulis
oleh Dr. Suriadi Mappangara adalah dosen pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Hasanuddin Makassar. Pendidikan SD di Makassar, SMP dan SMA
di Malaysia. Pendidikan S1, S2, dan S3 di Universitas Gadjah Mada. Telah
menulis beberapa buku di antaranya : Sejarah Sulawesi Selatan, Sejarah Politik
Kerajaan Bone, Ensiklopedia Tokoh dan Peristiwa di Sulawesi Selatan, Sejarah
Islam di Sulawesi, Sejarah Kerajaan Soppeng, Perlawanan I Manning Arung Data
dan Karaeng Galesong.
Jabatan sekarang selain dosen adalah
kepala Laboratorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.
2.
Latar Belakang Penulisan
Karya
Suriadi Mappangara ini merupakan model penulisan sejarah yang mendekatkan
pembaca kepada kehidupan nyata pelaku sejarah. Ia bergiat memperoleh data
kesejarahan pelaku sejarah dan berusaha mengungkapkan pikiran dan gagasan tokoh
itu dalam segala kegiatannya, sehingga menghasilkan suatu karya yang cemerlang
dan dapat memberikan gambaran yang jelas menyangkut
perilaku, tindakan, dan filsafat hidup yang dipedomaninya yaitu Arung Palakka.
Perilaku politik dan nilai-nilai kearifan politik pada masanya terungkap dan
dapat dipahami dengan baik, sehingga setiap pembaca terbawa dalam renungan relung
hati pelaku-pelaku sejarah.
Buku ini mengungkapkan sebuah bagian gelap sejarah
Sulawesi-Selatan pada abad XVII. Gelap, karena masa-masa tersebut belum pernah
dipublikasikan secara umum kepada publik. Nuansa dalam waktu itulah yang
dihidupkan oleh Suriadi Mappangara dalam buku ini. Hubungan antara kedua
sahabat yang dipertemukan sejak kecil ini, kemudian menjadi seteru besar yaitu
Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin. Apa yang kemudian terjadi antara keduanya
ketika menyadari bahwa mereka telah "diadu" oleh kekuatan asing untuk
saling bermusuhan yaitu VOC. Kemudian antara dua keturunan menyatakan perlunya
"assidingeng" (penyatuan /peleburan) antara mereka dengan melakukan
perkawinan antarkeluarga. Buku ini ditulis oleh sejarawan yang mendedikasikan
penuh waktunya meneliti sejarah kerajaan di Sulawesi-Selatan pada masa lalu.
3.
Situasi Zaman
Buku Filosofi Arung
Palakka ditulis pada tahun 2016, mengisahkan tentang Perang antara VOC dan
Kerajaan Gowa yang melibatkan Arung Palakka di pihak musuh Kerajaan Gowa,
diartikan sebagai suatu pengkhianatan. Pertanyaannya adalah Arung Palakka
mengkhianati kepada siapa? Arung Palakka dengan sejumlah bangsawan tinggi
Kerajaan Bone dan Soppeng bangkit bersama-sama melawan untuk kembali
memerdekakan Kerajaan Bone yang telah dijajah sejak 1643. Apakah tindakan
Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Karunrung, yang menaklukkan kerajaan
Bone tahun 1643 dapat dibenarkan?
Buku ini mengingatkan
bahwa memahami masa lalu dengan dengan memakai pisau analisa masa kini, itulah
pokok persoalannya. Pada waktu itu, perang menjadi solusi dalam mengatasi
persoalan yang muncul. Perang sebagai jawaban untuk menjawab tantangan. Semua
kerajaan akan berusaha untuk tetap merdeka. Mereka juga membuat perjanjian
untuk mengakhiri perang, namun perjanjian itu tidak seluruhnya di patuhi.
Kerajaan yang memiliki kekuatan yang lebih besar, kadang memaksakan
kehendaknya. Akhirnya perang kembali pecah. Kerajaan-kerajaan yang lemah dan
kecil, membangun kerjasama agar kuat untuk tetap bertahan atau melawan
seandainya diserang. Mereka tidak mencoba mencari akar persoalannya. Dan inilah
yang terjadi dalam sejarah panjang wilayah ini.
4.
Substansi Isi
Buku Filosofi Arung
Palakka yang ditulis oleh Suriadi Mappangara, menungkapkan tentang bagaimana
pemikiran dan tindakan Arung Palakka ketika Kerajaan Bone ditaklukkan oleh
Kerajaan Gowa dan menjadikan Kerajaan Bone sebagai tanah jajahan.
Dalam buku Filosofi
Arung Palakkaa ini, pada pembahasan pertama berisikan tentang Bontoala 14
September 1695. Menceritakan masa tua Arung Palakka yang masih memegang
kekuasaan di Kerajaan Bone pada khususnya dan di Sulawesi Selatan pada umumnya.
Pada pembahasan kedua,
Suriadi Mapapangara menceritakan adanya budaya perang di Sulawesi Selatan.
Bahwa di Sulawesi Selatan terdapat beberapa Kerajaan-kerajaan merdeka.
Kerajaan-kerajaan itu seperti Kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, Luwu, Bima, dan
lain sebagainya. Pada saat itu sering terjadi peperangan antara mereka yang
bertujuan untuk menguasai kerajaan yang lemah dan memperluas wilayah
kerajaannya.
Pada pembahasan ketiga,
berisikan tentang Sultan Hasanuddin memberi nasihat kepada Arung Palakka yang
saat itu masih bernama Daeng Serang. Nasihat tentang bagaimana dulu Arung
Palakka di bawa ke Kerajaan Gowa dan dibesarkan oleh Ayah Mangkubumi Arung
Karungrung.
Pada pembahasan keempat,
berisikan tentang Arung Palakka melakukan perlawanan ketika banyak pekerja dari
rakyat Kerajaan Bone diperbudak oleh Kerajaan Gowa, perlakuan yang diberikan
oleh para penjaga Gowa yang kasar dan tidak manusiawi memberlakukan pekerja
paksa Bone. Menimbulkan keinginan untuk membebaskan Kerajaan Bone dari
kekuasaan Kerajaan Gowa. Arung Palakka dan To Bala Jenang yang ditunjuk oleh
Mangkubumi Arung Karunrung melakukan siasat dan strategi untuk melarikan diri
bersama pekerja Bone Soppeng dari pekerjaan kasar. Saat yang tepat untuk
melakukannya ketika adanya perayaan panen besar di Tallo yang mengakibatkan
para Bangsawan Gowa pergi untuk menghadiri acara tersebut. Akhirnya penjagaan
menjadi kurang dan ini dimanfaatkan oleh Arung Palakka. Ketika Arung Palakka berhasil
membawa lari para pekerja Bone dan Soppeng. Pasukan Gowa akhirnya mengetahuinya
dan dilakukan pengejaran terhadap para pekerja yang berhasil melarikan diri. Pasukan
Gowa dan Pasukan Arung Palakka bertemu, terjadilah peperangan diantara
keduanya. Dalam peperangan ini Arung Palakka mengalami kekalahan dan berhasil
meloloskan diri serta meminta bantuan ke Buton dan Batavia.
Pada pembahasan kelima,
berisikan tentang bagaimana Arung Palakka menjalin kerjasama dengan VOC untuk
bersama-sama menyerang Kerajaan Gowa. Diceritakanlah tentang tujuan Arung
Palakka untuk bekerja sama dengan VOC. Yaitu untuk membebaskan Kerajaan Bone
dan Soppeng dari kekuasaan Kerajaan Gowa.
Pada pembahasan keenam,
berisikan tentang terjadinya perjanjian kekalahan Sultan Hasanuddin dalam
perang melawan VOC dan Arung Palakka. Perjanjian tersebut dilakukan disebuah
desa yang bernama Bungaya. Sehingga perjanjian itu diberi nama Perjanjian
Bungaya tahun November 1667. Perjanjian tersebut berisikan pasal-pasal yang
sangat merugikan bagi Kerajaa Gowa.
Pada pembahasan ketujuh,
berisikan Sultan Hasanuddin meletakkan jabatannya ketika ia kalah perang dalam
Perang Makassar. Berakhirnya Perang Makassar ketika benteng pertahanan Kerajaan
Gowa yang sangat terkenal yaitu Benteng Sombaopu berhasil dikuasai dan di bumi hanguskan
oleh VOC dan Arung Palakka. Anak Sultan Hasanuddin menaiki jabatan menggantikan
ayahnya sebagai Sultan Gowa yang bernama Amir Hamzah atau Mapasomba .
Pada pembahasan
kedelapan, berisikan surat Arung Palakka yang ditujukan kepada Karaeng
Karunrung mengenai peristiwa yang menurut Arung Palakka sangat melukainya.
Yaitu para isteri Arung Palakka dibawa oleh Bangsawan Gowa. Di sini Arung
Palakka menegaskan kepada Karaeng Karungrung untuk bisa mengatasi masalah ini.
Pada pembahasan
kesembilan, berisikan tentang kakek Arung Palakka yaitu La Tenri Ruwa meninggal dunia.
Pada pembahasan
kesepuluh, berisikan Gubernur Jenderan VOC meminta bantuan kepada Arung Palakka
untuk memadamkan perlawanan Trunojoyo yang ingin menggulingkan Raja Mataram.
Dengan bantuan Arung Palakka, VOC bisa memadamkan perlawanan Truojoyo.
Pada pembahasan
kesebelas, berisikan tentang Perkawinan Ala Arung Palakka. Arung Palakka tidak
mempunyai anak sehingga Arung Palakka melakukan perkawinan dengan cara keponakannya
yang bernama We Tenrilengke Da Emba dinikahkan dengan Datu Luwu Tomalagu. Hal
ini dilakukan agar ada penerus sah yang akan menggantikan Arung Palakka sebagai
Raja Bone.
Pembahasan keduabelas
berisikan tentang meninggalnya Arung Palakka pada tanggal 6 April 1696 karena
sakit tua. Mencerikan keadaan kesehatan Arung Palakka sebelum ia meninggal
dunia. Meninggalnya Arung Palakka membuat sedih rakyat Bone dan Soppeng, mereka
sangat kehilangan seorang Pembebas mereka, pejuang mereka, pahlawan mereka.
Bagi VOC meninggalnya Arung Palakka membuat VOC kehilangan sekutu besarnya. Dan
VOC menginginkan pengganti Arung Palakka dapat bekerja sana dengannya.
5.
Interpretasi
Dalam penulisan buku
ini, penulis memberitahukan dalam mengamati perjalanan politik “bangsa
indonesia” secara teoritis amat
bijaksana jika beranjak dari awal dengan satu kesepakatan bahwa, diorama
sejarah politik Indonesia harus dilihat dalam sebuah kerangka konspetual lokal
dan nasional, dengan demikian sejarawan harus menjelaskan persoalan sejarah
lokal dan sejarah nasional.
Konsep sejarah lokal
dan nasional ini tidak hanya perlu disepakati dan dimengerti sebagai pemikiran
teoritis, tetapi juga secara historis mungkin bisa dipertanggungjawabkan. Atas dasar
itu, maka sebuah seleksi itu perbedaan dapat dihindari. Sebagai contoh, apakah
Arung Palakka pahlawan atau bukan, atau apakah Sultan Hasanuddin pahlawan atau
bukan.Dalam jonteks nasional akan bisa diangkat mana yang dipentingkan, apakah
masalah kepahlawanan atau masalah integritasnya.
Jika yang dipentingkan
masalah kepahlawanan, persoalannya akan menyangkut wawasan sejarah politik,
tetapi jika masalah integritas yang akan dibicarakan, maka sejarah sosial
menjadi landasan pembicaraan. Dalam sejarah politik dapat ditemukan
istilah-istilah pahlawan-penghianat, pemberani-penakut, pejuang-pengecut,
kalah-menang. Sedang dalam sejarah sosial ditemukan istilah Wajar, layak,
harus, atau sebaliknya, penyelamat dan lain-lain.
Sehingga dalam buku ini
mempertanyakan apakah Sultan Hasanuddin adalah tokoh sejarah politik yang harus
diterima dengan penuh kebanggaan. Sultan Hasanuddin berada dalam unik makro
dalam sejarah politik. Namanya terukir indah di atas permukaan sejarah politik
negeri ini, bersama sekian nama tokoh yang bergelut dalam sejarah. Di tempat
lain, Arung Palakka berada dalam unit mikro, namanya tertanam jauh dalam lubuk
hati masyarakat, letaknya kokoh dalam sejarah sosial.
Maka dalam buku ini
menekankan Dua tokoh yang muncul bersamaan di atas pentas sejarah, lumrah
terjadi, tetapi hal ini tidak berarti keduanya harus diberi bobot sama tetapi
maknanya berbeda. Masalah makro dan mikro historis, masalah politik dan mikro
historis,masalah nasional dan lokal, masalah politik dan masalah sosial, perlu
dimengerti lebih awal, diketahui, dan didekati sesuai dengan skala unit sejarah
yang kita hadapi.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam penulisan buku
ini, penulis memberitahukan bahwa Sejarah pada dasarnya adalah ilmu yang sangat
terbuka, dan sangat ramah untuk semua orang. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika semua orang merasa dapat berbicara tentang sejarah.
Keterbukaan inilah rupanya yang menjadikan sejarah syarat dengan berbagai
dugaan,tanggapan, pendapat, dan lain-lain.
Sifat keterbukaan
itulah yang menyebabkan uraian-uraian sejarah menjadi sangat rumit, sering kali
sangat subjektif, berat sebelah, dan berprasangka. Denagn demikian mudah
dimengerti mengapa kisah Arung Palakka bermunculan dengan berbagai versi dan
interpretasinya. Termasuk tentu saja seperti apa yang di tuliskan oleh Dr.
Suriadi Mappangara dalam buku ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar