Kamis, 14 September 2017

Membedah Buku Filosofi Arung Palakka Karya Suriadi Mappangara




PENDAHULUAN

Buku yang hadir di hadapan pembaca ini adalah sejarah Sulawesi Selatan pada kisaran abad XVII dan XVIII dengan tokoh sentral penceritannya, Arung Palakka. Namun, membuka tiap lembaran buku ini seperti tidak sedang membaca buku-buku teks sejarah yang formal pada umumnya. Narasi sejarah yang dibangun dikemas seolah kita sedang membaca buku cerita, novel atau paling tidak sebuah roman sejarah. Format seperti ini bukannya tidak disadari bahkan justru disengaja penulisnya untuk menghadirkan sebuah bacaan sejarah yang lebih populer, sehingga akan lebih banyak kalangan baik dari berbagai latar belakang ataupun jenjang usia yang tertarik untuk membaca dan mengetahui sejarah. Suatu pengalaman bahwa ketertarikan dan juga pengetahuan akan sejarah lokal sangat rendah, tidak saja pada kalangan masyarakat luas bahkan juga di lingkungan perguruan tinggi.



PEMBAHASAN
A.      Kritik Eksternal
Judul Buku                   : Filosofi Arung Palakka
Penulis                          : Suriadi Mappangara
Penerbit                        : Ombak-Yogyakarta
Cetakan                        : Ke-1
Tahun                           : 2016
Editor                           : Nahdia Nur, M.Hum.
Tata Letak                    : Ridwan
Sampul                         : Dian Qamajaya
Jumlah Halaman          : xxviiii+325 Halaman
Ukuran                         : 14,5 x 21 cm
Text Bahasa                 : Indonesia
Kategori                       : Sejarah Indonesia


B.       Kritik Internal
1.      Penulis
Buku Filosofi Arung Palakka ditulis oleh Dr. Suriadi Mappangara adalah dosen pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Makassar. Pendidikan SD di Makassar, SMP dan SMA di Malaysia. Pendidikan S1, S2, dan S3 di Universitas Gadjah Mada. Telah menulis beberapa buku di antaranya : Sejarah Sulawesi Selatan, Sejarah Politik Kerajaan Bone, Ensiklopedia Tokoh dan Peristiwa di Sulawesi Selatan, Sejarah Islam di Sulawesi, Sejarah Kerajaan Soppeng, Perlawanan I Manning Arung Data dan Karaeng Galesong.

Jabatan sekarang selain dosen adalah kepala Laboratorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.


2.      Latar Belakang Penulisan
Karya Suriadi Mappangara ini merupakan model penulisan sejarah yang mendekatkan pembaca kepada kehidupan nyata pelaku sejarah. Ia bergiat memperoleh data kesejarahan pelaku sejarah dan berusaha mengungkapkan pikiran dan gagasan tokoh itu dalam segala kegiatannya, sehingga menghasilkan suatu karya yang cemerlang dan dapat memberikan gambaran yang jelas menyangkut perilaku, tindakan, dan filsafat hidup yang dipedomaninya yaitu Arung Palakka. Perilaku politik dan nilai-nilai kearifan politik pada masanya terungkap dan dapat dipahami dengan baik, sehingga setiap pembaca terbawa dalam renungan relung hati pelaku-pelaku sejarah.

Buku ini mengungkapkan sebuah bagian gelap sejarah Sulawesi-Selatan pada abad XVII. Gelap, karena masa-masa tersebut belum pernah dipublikasikan secara umum kepada publik. Nuansa dalam waktu itulah yang dihidupkan oleh Suriadi Mappangara dalam buku ini. Hubungan antara kedua sahabat yang dipertemukan sejak kecil ini, kemudian menjadi seteru besar yaitu Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin. Apa yang kemudian terjadi antara keduanya ketika menyadari bahwa mereka telah "diadu" oleh kekuatan asing untuk saling bermusuhan yaitu VOC. Kemudian antara dua keturunan menyatakan perlunya "assidingeng" (penyatuan /peleburan) antara mereka dengan melakukan perkawinan antarkeluarga. Buku ini ditulis oleh sejarawan yang mendedikasikan penuh waktunya meneliti sejarah kerajaan di Sulawesi-Selatan pada masa lalu.

3.      Situasi Zaman
Buku Filosofi Arung Palakka ditulis pada tahun 2016, mengisahkan tentang Perang antara VOC dan Kerajaan Gowa yang melibatkan Arung Palakka di pihak musuh Kerajaan Gowa, diartikan sebagai suatu pengkhianatan. Pertanyaannya adalah Arung Palakka mengkhianati kepada siapa? Arung Palakka dengan sejumlah bangsawan tinggi Kerajaan Bone dan Soppeng bangkit bersama-sama melawan untuk kembali memerdekakan Kerajaan Bone yang telah dijajah sejak 1643. Apakah tindakan Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Karunrung, yang menaklukkan kerajaan Bone tahun 1643 dapat dibenarkan?

Buku ini mengingatkan bahwa memahami masa lalu dengan dengan memakai pisau analisa masa kini, itulah pokok persoalannya. Pada waktu itu, perang menjadi solusi dalam mengatasi persoalan yang muncul. Perang sebagai jawaban untuk menjawab tantangan. Semua kerajaan akan berusaha untuk tetap merdeka. Mereka juga membuat perjanjian untuk mengakhiri perang, namun perjanjian itu tidak seluruhnya di patuhi. Kerajaan yang memiliki kekuatan yang lebih besar, kadang memaksakan kehendaknya. Akhirnya perang kembali pecah. Kerajaan-kerajaan yang lemah dan kecil, membangun kerjasama agar kuat untuk tetap bertahan atau melawan seandainya diserang. Mereka tidak mencoba mencari akar persoalannya. Dan inilah yang terjadi dalam sejarah panjang wilayah ini.



4.        Substansi Isi
Buku Filosofi Arung Palakka yang ditulis oleh Suriadi Mappangara, menungkapkan tentang bagaimana pemikiran dan tindakan Arung Palakka ketika Kerajaan Bone ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan menjadikan Kerajaan Bone sebagai tanah jajahan.

Dalam buku Filosofi Arung Palakkaa ini, pada pembahasan pertama berisikan tentang Bontoala 14 September 1695. Menceritakan masa tua Arung Palakka yang masih memegang kekuasaan di Kerajaan Bone pada khususnya dan di Sulawesi Selatan pada umumnya.

Pada pembahasan kedua, Suriadi Mapapangara menceritakan adanya budaya perang di Sulawesi Selatan. Bahwa di Sulawesi Selatan terdapat beberapa Kerajaan-kerajaan merdeka. Kerajaan-kerajaan itu seperti Kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, Luwu, Bima, dan lain sebagainya. Pada saat itu sering terjadi peperangan antara mereka yang bertujuan untuk menguasai kerajaan yang lemah dan memperluas wilayah kerajaannya.

Pada pembahasan ketiga, berisikan tentang Sultan Hasanuddin memberi nasihat kepada Arung Palakka yang saat itu masih bernama Daeng Serang. Nasihat tentang bagaimana dulu Arung Palakka di bawa ke Kerajaan Gowa dan dibesarkan oleh Ayah Mangkubumi Arung Karungrung.

Pada pembahasan keempat, berisikan tentang Arung Palakka melakukan perlawanan ketika banyak pekerja dari rakyat Kerajaan Bone diperbudak oleh Kerajaan Gowa, perlakuan yang diberikan oleh para penjaga Gowa yang kasar dan tidak manusiawi memberlakukan pekerja paksa Bone. Menimbulkan keinginan untuk membebaskan Kerajaan Bone dari kekuasaan Kerajaan Gowa. Arung Palakka dan To Bala Jenang yang ditunjuk oleh Mangkubumi Arung Karunrung melakukan siasat dan strategi untuk melarikan diri bersama pekerja Bone Soppeng dari pekerjaan kasar. Saat yang tepat untuk melakukannya ketika adanya perayaan panen besar di Tallo yang mengakibatkan para Bangsawan Gowa pergi untuk menghadiri acara tersebut. Akhirnya penjagaan menjadi kurang dan ini dimanfaatkan oleh Arung Palakka. Ketika Arung Palakka berhasil membawa lari para pekerja Bone dan Soppeng. Pasukan Gowa akhirnya mengetahuinya dan dilakukan pengejaran terhadap para pekerja yang berhasil melarikan diri. Pasukan Gowa dan Pasukan Arung Palakka bertemu, terjadilah peperangan diantara keduanya. Dalam peperangan ini Arung Palakka mengalami kekalahan dan berhasil meloloskan diri serta meminta bantuan ke Buton dan Batavia.

Pada pembahasan kelima, berisikan tentang bagaimana Arung Palakka menjalin kerjasama dengan VOC untuk bersama-sama menyerang Kerajaan Gowa. Diceritakanlah tentang tujuan Arung Palakka untuk bekerja sama dengan VOC. Yaitu untuk membebaskan Kerajaan Bone dan Soppeng dari kekuasaan Kerajaan Gowa.

Pada pembahasan keenam, berisikan tentang terjadinya perjanjian kekalahan Sultan Hasanuddin dalam perang melawan VOC dan Arung Palakka. Perjanjian tersebut dilakukan disebuah desa yang bernama Bungaya. Sehingga perjanjian itu diberi nama Perjanjian Bungaya tahun November 1667. Perjanjian tersebut berisikan pasal-pasal yang sangat merugikan bagi Kerajaa Gowa.

Pada pembahasan ketujuh, berisikan Sultan Hasanuddin meletakkan jabatannya ketika ia kalah perang dalam Perang Makassar. Berakhirnya Perang Makassar ketika benteng pertahanan Kerajaan Gowa yang sangat terkenal yaitu Benteng Sombaopu berhasil dikuasai dan di bumi hanguskan oleh VOC dan Arung Palakka. Anak Sultan Hasanuddin menaiki jabatan menggantikan ayahnya sebagai Sultan Gowa yang bernama Amir Hamzah atau Mapasomba .

Pada pembahasan kedelapan, berisikan surat Arung Palakka yang ditujukan kepada Karaeng Karunrung mengenai peristiwa yang menurut Arung Palakka sangat melukainya. Yaitu para isteri Arung Palakka dibawa oleh Bangsawan Gowa. Di sini Arung Palakka menegaskan kepada Karaeng Karungrung untuk bisa mengatasi masalah ini.

Pada pembahasan kesembilan, berisikan tentang kakek Arung Palakka yaitu La  Tenri Ruwa meninggal dunia.

Pada pembahasan kesepuluh, berisikan Gubernur Jenderan VOC meminta bantuan kepada Arung Palakka untuk memadamkan perlawanan Trunojoyo yang ingin menggulingkan Raja Mataram. Dengan bantuan Arung Palakka, VOC bisa memadamkan perlawanan Truojoyo.

Pada pembahasan kesebelas, berisikan tentang Perkawinan Ala Arung Palakka. Arung Palakka tidak mempunyai anak sehingga Arung Palakka melakukan perkawinan dengan cara keponakannya yang bernama We Tenrilengke Da Emba dinikahkan dengan Datu Luwu Tomalagu. Hal ini dilakukan agar ada penerus sah yang akan menggantikan Arung Palakka sebagai Raja Bone.

Pembahasan keduabelas berisikan tentang meninggalnya Arung Palakka pada tanggal 6 April 1696 karena sakit tua. Mencerikan keadaan kesehatan Arung Palakka sebelum ia meninggal dunia. Meninggalnya Arung Palakka membuat sedih rakyat Bone dan Soppeng, mereka sangat kehilangan seorang Pembebas mereka, pejuang mereka, pahlawan mereka. Bagi VOC meninggalnya Arung Palakka membuat VOC kehilangan sekutu besarnya. Dan VOC menginginkan pengganti Arung Palakka dapat bekerja sana dengannya.

5.    Interpretasi
Dalam penulisan buku ini, penulis memberitahukan dalam mengamati perjalanan politik “bangsa indonesia”  secara teoritis amat bijaksana jika beranjak dari awal dengan satu kesepakatan bahwa, diorama sejarah politik Indonesia harus dilihat dalam sebuah kerangka konspetual lokal dan nasional, dengan demikian sejarawan harus menjelaskan persoalan sejarah lokal dan sejarah nasional.

Konsep sejarah lokal dan nasional ini tidak hanya perlu disepakati dan dimengerti sebagai pemikiran teoritis, tetapi juga secara historis mungkin bisa dipertanggungjawabkan. Atas dasar itu, maka sebuah seleksi itu perbedaan dapat dihindari. Sebagai contoh, apakah Arung Palakka pahlawan atau bukan, atau apakah Sultan Hasanuddin pahlawan atau bukan.Dalam jonteks nasional akan bisa diangkat mana yang dipentingkan, apakah masalah kepahlawanan atau masalah integritasnya.

Jika yang dipentingkan masalah kepahlawanan, persoalannya akan menyangkut wawasan sejarah politik, tetapi jika masalah integritas yang akan dibicarakan, maka sejarah sosial menjadi landasan pembicaraan. Dalam sejarah politik dapat ditemukan istilah-istilah pahlawan-penghianat, pemberani-penakut, pejuang-pengecut, kalah-menang. Sedang dalam sejarah sosial ditemukan istilah Wajar, layak, harus, atau sebaliknya, penyelamat dan lain-lain.

Sehingga dalam buku ini mempertanyakan apakah Sultan Hasanuddin adalah tokoh sejarah politik yang harus diterima dengan penuh kebanggaan. Sultan Hasanuddin berada dalam unik makro dalam sejarah politik. Namanya terukir indah di atas permukaan sejarah politik negeri ini, bersama sekian nama tokoh yang bergelut dalam sejarah. Di tempat lain, Arung Palakka berada dalam unit mikro, namanya tertanam jauh dalam lubuk hati masyarakat, letaknya kokoh dalam sejarah sosial.

Maka dalam buku ini menekankan Dua tokoh yang muncul bersamaan di atas pentas sejarah, lumrah terjadi, tetapi hal ini tidak berarti keduanya harus diberi bobot sama tetapi maknanya berbeda. Masalah makro dan mikro historis, masalah politik dan mikro historis,masalah nasional dan lokal, masalah politik dan masalah sosial, perlu dimengerti lebih awal, diketahui, dan didekati sesuai dengan skala unit sejarah yang kita hadapi.


PENUTUP

Kesimpulan
Dalam penulisan buku ini, penulis memberitahukan bahwa Sejarah pada dasarnya adalah ilmu yang sangat terbuka, dan sangat ramah untuk semua orang. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika semua orang merasa dapat berbicara tentang sejarah. Keterbukaan inilah rupanya yang menjadikan sejarah syarat dengan berbagai dugaan,tanggapan, pendapat, dan lain-lain.

Sifat keterbukaan itulah yang menyebabkan uraian-uraian sejarah menjadi sangat rumit, sering kali sangat subjektif, berat sebelah, dan berprasangka. Denagn demikian mudah dimengerti mengapa kisah Arung Palakka bermunculan dengan berbagai versi dan interpretasinya. Termasuk tentu saja seperti apa yang di tuliskan oleh Dr. Suriadi Mappangara dalam buku ini.



DAFTAR PUSTAKA

Mappangara, Suriadi. 2016. Filosofi Arung Palakka. Yogyakarta : Ombak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan Pendidikan Pada masa Kerajaan Islam di Jawa dan Sumatra Pra Kolonialisme

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, telah ada beberapa kerajaan Islam yang ber...