Selasa, 19 September 2017

Makalah Sistem Sewa Tanah



 
Makalah Sistem Sewa Tanah
 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Perancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makasar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).

Sistem sewa tanah yaitu sistem pertanian dimana para petani atas kehendaknya sendiri menanam dagangan (cash crops), Yang dapat di Ekspor keluar negeri.

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.


1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, mengenai “Sistem Sewa Tanah” yang digagas oleh Stamford Rafles di Indonesia, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana latar belakang sehingga di terapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia ?
2.      Bagaimana pelaksanaan Sistem Sewa Tanah di Indonesia ?
3.      Apa akibat dan ketentuan dari Sistem Sewa Tanah terhadap Indonesia ?
4.      Bagaimana kegagalan dari di terapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia ?

1.3  Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini yaiitu:
1.      Agar kita dapat mengetahui latar belakang dari diterapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia.
2.      Agar kita dapat memahami mengenai pelaksanaan dari Sistem Sewa Tanah di Indonesia.
3.      Agar kita dapat mengetahui akibat dan ketentuan dari Sistem Sewa Tanah di Indonesia.
4.      Agar kita mengetahui kegagalan dari diterapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAAN

2.1  Latar Belakang Diterapkanya Sistem Sewa Tanah

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.

Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.

Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa. Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.

Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.



2.2  Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah

Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghimpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.

Tujuan dari Sewa tanah itu sendiri yaitu untuk meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk di jawa dan merangsang produksi tanaman dagangan.

Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa : Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode kolonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda : Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830.

Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. 

Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.

Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan kolonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan kolonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

2.2.1        Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah :
a.      Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Pergantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai - pegawai Eropa. Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat bangsa Eropa, timbul pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati, yang sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial yang amat besar.
b.      Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.

Dalam mengatur penggunaan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh masing masing petani. Sudah barang tentu kebebasan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. Sebagai seorang liberal Rafles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinanya bahwa penduduk jawa harus dapat menikmati kepastian hukum maka ia mempertimbangkan penetapan pajak secara perorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak berupa pajak tanah yang harus di bayar oleh perorangan dan bukan lagi desa sebagai keseluruhan dikeluarkan dalam tahun 1814.

Akan tetapi tidak lama kemudian ternyata bahwa pelaksanaan pemungutan pajak secara perorangan mengalami banyak kesulitan. Salah satu faktor yang penting dalam hal ini adalah tidak tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus di bayar oleh tiap tiap orang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa penetapan pajak tidak dilakukan dengan tepat, sehingga sering memperberat beban pajak untuk rakyat, dan bukan memperinganya seperti yang di maksud Raffles.
c.       Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.

Perkembangan yang sama juga terlihat pada tanaman dagangan lainya, seperti gula dan lain-lain. Salah satu dari sebab kegagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual tanaman mereka di pasar bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala desa sering menipu para petani, sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.

2.2.2        Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles melalui Sistem Sewa Tanah ini adalah :
a.      Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
b.      Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.

Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya mendapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.

Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk menjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa tersebut. 

2.2.3        Tanaman Dan Sistem Perdagangan Pada Masa Sistem Sewa Tanah
Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.

Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil. Selain kopi, tanaman tebu juga mengalami kemunduran yang sama, sehingga pada sistem sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu mengenal tanaman ekspor.

Dalam sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka. Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. Hal ini mengakibatkan kepala-kepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman perdagangan.

2.3  Akibat Dan Ketentuan Dari Sewa Tanah

Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Di mana pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya pemerintahan kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris. (Kartodirdjo: 1977: 65).

Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya Rafless ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. (Kartodirdjo: 1977: 65)

Thomas Stanford Rafless menyebut Sistem Sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa :

“Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode kolonial, dan landrente sebagai suatu sistem (Belanda : Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830”

Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas: Pertama, segala bentuk dan  jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apa pun juga. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri barat. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (landrente) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. (Kartodirdjo: 1977: 66).

Prinsip dasar dari Sistem Sewa tanah adalah setiap penggarap akan dikenal pajak sesuai jumlah dan kualitas tanah pemiliknya, karena semua tanah dianggap sebagai milik pemerintah. Perintah bulan Februari 1814 ini memberikan pedoman pemungutan pajak sebagai berikut :
Ø  Sawah, kelas, pajak :
a.       Sawah, Kelas I, ½ dari hasil sebagai pajak
b.      Sawah, Kelas II, 2/5 dari hasil sebagai pajak
c.       Sawah, Kelas III, 1/3 dari hasil sebagai pajak
Ø  Tegal, kelas, pajak :
a.       Tegal, Kelas I, 2/5 dari hasil sebagai pajak
b.      Tegal, Kelas II, 1/3 dari hasil sebagai pajak  
c.       Tegal, Kelas III, 1/4 dari hasil sebagai pajak

Ketika Jawa dikembalikan kepada Belanda tahun 1816, Sistem Pajak Bumi tetap dipertahankan, walaupun perkenalan dan pelaksanaannnya selama tiga tahun kekuasaan Inggris masih jauh dari memuaskan. Sistem sewa tanah berlangsung hingga tahun 1830.

Diperkenalkannya sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares (yang pertama diantara lain-lainnya yang sederajat) dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam banyak hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah yang sama. Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selanjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.

3.4  Kegagalan Dari Sistem Sewa Tanah

Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah :
Ø  Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
Ø  Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerintah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
Ø  Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
Ø  Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
Ø  Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
Ø  Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.

Selain kegagalan diatas, ternyata sistem sewa tanah juga membawa dampak positif antara lain : Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.

Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masih cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self sufficient.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan

Pengalaman – pengalaman yang diperoleh selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama pemerintah sementara Inggris di bawah pemerintahan Raffles maupun selama pemerintahan Belanda di bawa para komisaris jenderal dan Gubernur Jenderal Van Der Capellen, menunjukan bahwa untuk mengesampingkan para Bupati dan kepala desa tidak berhasil. Ternyata mau tidak mau Struktur feudal yang berlaku di masyarakat tradisional jawa, khususnya gengsi sosial yang dimiliki para Bupati dan kepala-kepala desa, perlu di mobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial jika mereka mau mencapai tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman perdagangan yang diinginkan.

Sistem sewa tanah ini memang mengakibatkan lebih meresapnnya pengaruh politik maupun pengaruh sosial sampai batas tertentu ke dalam terutama oleh karena usaha mengesampingkan para bupati untuk langsung berhubungan dengan para petani sendiri. Namun kita melihat bahwa hal ini tidak sepenuhnya berhasil dan dalam berbagai hal ikatan tradisional masih perlu di faedahkan.

B.     Saran

Semoga didalam isi makalah ini dapat memberikan Informasi dan gambaran secara jelas mengenai Sistem Sewa Tanah di Indonesia, dan semoga dapat menjadi tambahan Referensi bagi mahasiswa yang akan menyusun makalah dengan judul yang sama.

 
 
DAFTAR PUSTAKA


Boomgard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda : Sejarah Sosial Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV & Djambatan

Kartodirjo Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Marwoto Soewito dkk. 2000. Sistem Pemerintahan Indonesia Raffles, Belanda Dan Jepang. Bandung: Koperasi Abdi Praja



1 komentar:

Perkembangan Pendidikan Pada masa Kerajaan Islam di Jawa dan Sumatra Pra Kolonialisme

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, telah ada beberapa kerajaan Islam yang ber...