BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, telah ada beberapa kerajaan
Islam yang berdiri di Nusantara. Kerajan-kerajaan Islam tersebut telah
mengembangkan model pendidikan dengan sistem pendidikan Islam. Model pendidikan
Islam tersebut sangat berbeda dengan sistem pendidikan kolonial. Seiring dengan
perkembangan Islam di Nusantara, pendidikan Islam berpusat di masjid, surau,
langgar atau pesantren. Sehingga pendidikan Islam di Nusantara didasarkan pada
sistem kedaerahan atau tidak tidak terpusat, karena setiap daerah melaksanakan
pengajaran dan pendidikan Islam di daerah masing-masing.[1]
Pendidikan Islam di Nusantara pada awal kedatangan Islam sampai masuknya
ide pembaharuan pada abad ke-20 bercirikan pendidikan yang berfokus di
pesantren, dayah, surau atau masjid. Muatan yang menjadi utama adalah ilmu-ilmu
agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian dapat digambarkan
bahwa tujuan utama pendidikan Islam pada masa awal tersebut adalah menghasilkan
ulama yang ahli dibidang agama. Masyarakat yang ahli dalam bidang agama
nantinya dapat mengajak masyarakat lain dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam
dengan baik.
Pendidikan Islam yang demikian memiliki peranan yang sanga penting dalam
perkembangan bangsa. Identitas bangsa dengan segala aspeknya tidak dapat
dipisahkan dengan pendidikan Islam.
Karakter bangsa Indonesia yang santun, religus, dan ramah secara alami diwarisi
hingga saat ini sebagai wujud hubungan manusia dengan Tuhan atau pun aspek
kemasyarakatan.[2]
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan zaman kerajaan Islam yang diberikan
kepada murid di tengah keluarga, pesantren, masjid, surau dan masyarakat luas
dalam meningkatkan imannya dapat membantu mereka mencapai kepercayaan diri
sejati di dalam dirinya. Selain itu pendidikan masa kerajaan Islam juga
mempengaruhi tingkah laku para murid. Iman yang ada pada diri murid membuat
mereka bertindak secara terarah kepada suatu tujuan yang terpilih dan telah
diniatkan. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas model pendidikan Islam
pada masa kerajan Islam di Nusantara.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana landasan pendidikan masa kerajaan Islam di Nusantara?
2. Bagaiaman pendidikan Islam diberbagai daerah Nusantara?
3. Bagaimana muatan materi pendidikan masa kerajaan Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Gambaran Pendidikan yang Berlandaskan Ajaran Keagamaan Pada Masa
Kerajaan
Islam
Pendidikan
berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal
Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula
terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan
Jawa. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman
agama Hindu masih kuat.[3]
Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk
pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang di selenggarakan di
rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini
adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang.[4]
Pada awal
perkembangan Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara
semaksimal, dan para muballiq ketika itu melaksanakan penyiaran agama Islam
kapan dan dimana saja pada setiap kesempatan dengan cara yang mudah diterima
oleh masyarakat. Hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin, mereka
mendirikan masjid sebagai tempat beribadah dan mengerjakan shalat Jumat dan
pada tiap-tiap kampung, mereka mendirikan Surau (di Sumatera Barat) atau Langgar
untuk mengaji dan membaca Alquran, dan sebagai tempat untuk mendirikan shalat
lima waktu.
Pendidikan
Islam yang berlangsung di langgar bersifat elementer, di mulai dengan
mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru
dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Alquran Pendidikan
semacam ini dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden atau Lebai
yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada waktu upacara
keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pengajian Alquran pada
pendidikan Langgar ini dapat dibedakan atas dua tingkatan yaitu:
1) Tingkatan
rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampung.
2) Tingkatan
atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan pelajaran
lagu, kasida, tajwid dan mengaji kitab perukunan.
2.
Pusat Pengkajian Pendidikan Kerajaan Islam di Aceh
A.
Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan
pada
abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang
kedua bernama Al-
Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik
Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15
H).[5]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan
Pasai pada
zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim
dalam ilmu agama dan
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai
waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa
Arab serta mempraktekkan pola
hidup yang sederhana.[6]
Keterangan
Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku
di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.
Materi
pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.
Sistem
pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c.
Tokoh
pemerintahan merangkap tokoh agama
d.
Biaya
pendidikan bersumber dari negara.
Pada zaman
kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan
juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang
menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga
kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.[7]
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi
Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara
Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang
cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari
Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut
Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi
melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi
seluruh wajah murid menghadap guru.
B.
Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan
Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat
Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan
Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan
Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya
melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu
kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim
disebut Imeum mukim.[8]
Jenjang
pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah
Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di
setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
1)
Sebagai
tempat belajar Alquran
2)
Sebagai
Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf
Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut :
a.
Sebagai
tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
b.
Sebagai
tempat sholat tarawih dan tempat membaca Alquran di bulan puasa.
c.
Tempat
kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d.
Tempat
menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri / bulan
Puasa
e.
Tempat
mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
f.
Tempat
bermusyawarah dalam segala urusan
g.
Letak
meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui
mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[9]
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu
hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka
di Timur Tengah yaitu
kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-
pujangga dari
berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini
mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan
serta menulis
bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran
agama Islam di Aceh
menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat
di nusantara. Diantara para ulama
dan pujangga yang pernah datang ke kerajaan
Aceh antara lain Muhammad Azhari yang
mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul
Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic
dan mistik, Muhammad Yamani
ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad
Jailani Ibn Hasan yang mengajar
logika.[10]
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya
yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri.
Ia merupakan seorang
pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang
beraliran
wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab
Al-
Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan
karya-karya,
Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya
adalah Syamsuddin As-
Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia
adalah murid dari Hamzah Fansuri
yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh.
Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub,
Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah
datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-
Raniri. Ia menentang paham
wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam
dalam bahasa Arab
maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam
kesustraan
Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul
Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
oleh
Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam,
salah satu masjid
yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan
sebagai Perguruan Tinggi dan
mempunyai 17 daras (fakultas). Dengan melihat
banyak para ulama dan pujangga yang datang
ke Aceh, serta adanya Perguruan
Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi
pusat studi Islam.
Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi
kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland,
bahwa seorang Aceh
adalah seorang Islam.[11]
3.
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Kerajaan di Jawa
A.
Pendidikan Islam di Kerajaan Demak
Sistem
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai kemiripan
dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat
sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan
seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran
serta sumber agama Islam.[12] Kitab
keluaran Demak adalah Usul 6 Bis, yaitu kitab yang ditulis tangan berisi 6
kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Sarkandi. Isinya
tentang dasar-dasar ilmu agama Islam. Kitab lainnya adalah Tafsir Jalalain,
karangan Syekh Jalaluddin dan Jalaluddin as Suyuthi. Adapula kitab agama Islam
yang hingga kini masih dikenal, yaitu Primbon, berisi catatan tentang ilmu-ilmu
agama, macam-macam doa, obat-obatan, ilmu gaib, bahkan wejangan para wali.
Selain itu, Sultan Agung memerintahkan di tiap ibukota kabupaten
didirikan sebuah masjid besar, sebagai induk dari seluruh masjid dalam
kabupaten tersebut dan pada tiap ibukota distrik sebuah mesjid Kawedanan.
Begitu pula di desa juga didirikan masjid desa. Masjid besar dikepalai oleh
seorang penghulu dan dibantu oleh 40 orang pegawainya. Masjid Kawedanan
dipimpin oleh naib, dan dibantu 11 pegawainya. Sedang masjid desa dikepalai
oleh modin (kayim, kaum) dengan 4 orang pembantunya. Penghulu adalah
kepala urusan penyelenggaraan Islam di seluruh daerah kabupaten. Pegawai
penghulu sendiri dibagi menjadi 4 golongan (bendahara, ketib/khatib,
modin/muadzin, merbot). Wilayah suatu daerah dibagi atas beberapa bagian
sebagai usaha untuk memajukan pendidikan dan pengajaran Islam. Pelaksanaannya
di tiap-tiap bagian dipercayakan kepada beberapa orang Ketib dan dibantu oleh
beberapa orang modin.[13]
B.
Pendidikan Islam di Kerajaan Mataram
Beberapa tempat
Pengajian Qur’an diadakan di desa-desa. Di sana diajarkan huruf hijaiyah,
membaca al Qur’an, pokok-pokok dan dasar ilmu agama Islam. Cara mengajarkannya
adalah dengan menghafal. Jumlah tempat Pengajian Qur’an adalah menurut
banyaknya modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian
Qur’an, modin bertindak sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang
wajib belajar, namun anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun harus
belajar di Pengajaian Qur’an di desa masing-masing atas kehendak orang tuanya
sendiri. Hal tersebut menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika
ada anak yang berumur 7 tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan
sendirinya menjadi olok-olokan teman seusianya.
Selain itu ada
pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada murid-murid yang telah mengkhatamkan
al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin terpandai di desa itu.
Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik dari kepandaiaan
maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai Anom. Waktu
belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan ditulis
dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya
antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam
Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang
demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan. Sistem ini
dipakai secara umum di seluruh Indonesia, sebelum zaman modernisasi madrasah-madrasah.
Di beberapa
kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk
melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya
bergelar Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga
pendidikan tingkat tinggi. Kitabkitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah
kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam
bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama diajarkan
disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya.
Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang
mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.[14]
4. Sistem Pendidikan Islam yang berlandaskan ajaran keagamaan pada
masa
Kerajaan Islam
Pada dasarnya,
sistem pendidikan Islam di Indonesia pada awal penyebarannya dan perkembangan
di Indonesia sejalan dengan diawalinya sistem pembentukan masyarakat Muslim
tentunya dengan proses yang panjang. Pendidikan Islam di Indonesia telah
berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam
dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh dengan peserta
didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah
mereka membangun masjid, yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan,
majlis ta,lim, surau, Meunasah, Rangkang dan Dayah.
Inti dari materi
pendidikan pada masa awal tersebut adalah pengajian Alquran, serta ilmu-ilmu
agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab ini
adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Di masa awal
penyebaran Islam Sistem Pendidikan pada masa itu masih bersifat informal yang
mana di masa itu dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden atau
Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada waktu
upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Sistem Pendidikan yang
terdapat dalam pola Pengajian Alquran serta pengkajian kitab pada ini dapat
dibedakan atas dua tingkatan yaitu :
1) Tingkatan
rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan sampai bisa
membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampong
2) Tingkatan
atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan pelajaran
lagu, kasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan
Sedangkan Di masa kerajaan Samudera Pasai sistem pendidikan Islam
telah berkembang dengan diadakanya sistem kelembagaan untuk para pelajar (sekolah),
selanjutnya Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia
Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam, system
diskusi dengan para alim ulama setiap hari jum’at dengan menggunakan system
halaqoh. Di perkembangan selanjutnya, sistem pendidikan Islam mulai menunjukkan
keberhasilannya dengan didirikannya sebuah Lembaga Perguruan Tinggi (Universitas)
yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut mengajarkan
dan mengkaji kitab-kitab agama yang berbobot tinggi. Dengan sistem pendidikan seperti
ini Dayahcotkala menjadi pusat pendidikan saat itu dan berjalan dengan baik. Di
masa selanjutnya, Kerajaan Aceh telah membuka sistem pendidikan Islam yang luar
biasa dengan menciptakan sistem pendidikan meunasah (Madrasah) dengan berbagai multi
fungsi. Selain itu juga kerajaan aceh dalam bidang pendidikan telah menjalin kerjasama
dengan Negara Turki guna mencari para ulama dan pujangga dalam mengajarkan ilmu
teologi di kerajaan aceh.
Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai
kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di
tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di
bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan
dan pengajaran serta sumber agama Islam.[15]
Kitab keluaran Demak adalah Usul 6 Bis, yaitu kitab yang ditulis tangan berisi
6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Sarkandi.
Isinya tentang dasar-dasar ilmu agama Islam. Kitab lainnya adalah Tafsir
Jalalain, karangan Syekh Jalaluddin dan Jalaluddin as Suyuthi. Adapula kitab
agama Islam yang hingga kini masih dikenal, yaitu Primbon, berisi catatan tentang
ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, obat-obatan, ilmu gaib, bahkan wejangan para
wali.
Selain itu, dikenal pula kitab-kitab yang dikenal dengan nama Suluk
Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan lain-lain.
Dimana seluruh kitab tersebut berbentuk diktat dan ditulis tangan. Terlepas
dari kitabkitab agama di zaman Demak yang terbilang sedikit, dalam kenyataannya
agama Islam berkembang dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dengan
pesatnya. Hal ini dikarenakan peranan para Sunan dan Kyai dalam melaksanakan pendidikan
dan penyiaran Islam mengikuti sistem yang telah diajarkan nabi. Selain itu,
dengan memberikan suri tauladan yang baik dalam perangai dan perbuatan nyata.
Adanya kebijaksanaan para wali menyiarkan agama dan memasukkan anasir-anasir
pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional membuat
agama Islam dapat tersebar ke seluruh kepulauan Indonesia.
Di kerajaan Mataram sendiri sistem pendidikan yang dilaksanakan pada
saat itu masih bersifat informal di sebabkan karena tempat proses belajar mengajar
masih diadakan di desa-desa, kemudian belum ada kebijakan khusus dari kesultanan
tentang Hukum dan undang-undang pendidikan, serta pengajaran yang di berikan hanya
sekitar kajian al-quran serta ilmu dasar agama Islam dengan sistem belajar menghapal. JumlahtempatPengajianQur’an adalah menurut banyaknya
modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian Qur’an, modin bertindak
sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar, namun anak laki-laki
dan perempuan yang berumur 7 tahun Harus belajar Di Pengajian Qur’an di desa masing-masing
atas kehendak orang tuanya sendiri. Hal tersebut
menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika ada anak yang berumur 7
tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan sendirinya menjadi olok-olokan teman
seusianya.
Selain itu ada pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada
murid-murid yang telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab
biasanya adalah modin terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain
yang memenuhi syarat, baik dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru
tersebut diberi gelar Kiyai Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam
hari. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang demi seorang bagi murid pemula
dan halaqah bagi pelajar lanjutan. Sistem ini dipakai secara umum di seluruh
Indonesia, sebelum zaman modernisasi.
Di beberapa kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan
asrama atau pondok untuk melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke
tingkatan tinggi. Gurunya bergelar Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren
ini berperan sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi. Kitab-kitab yang
diajarkan pada pesantren besar ialah kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu
diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah dan dilakukan secara
halaqah. Bermacam-macam ilmu agama diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir,
hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga
diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang mengajarkan satu cabang ilmu
agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.
5.
Lembaga Pendidikan Islam Masa Kerajaan Islam
Pada tahap awal
pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Para Muballigh banyak
memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka seharihari. Para Muballigh
itu menunjukan akhlaqul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi
tertarik untuk memeluk agama Islam dan mencontohperilaku mereka. Dalam
perkembangan selanjutnya, terbentuklah komunitaskomunitas Islam,yang tersebar
di berbagai daerah yang selanjutnya disimbolkan dengan membangun masjid. Ulama
dan guru-guru mulai berdatangan, pengajian-pengajian diselenggarakan dengan
mengambil tempat di masjid-masjid. Tempat-tempat pengajian ini kemudian
selanjutnya ada yang erkembang menjadi pondok pesantren, surau, langgar, bahkan
sekolah hingga perguruan tinggi, Berikut ini adalah lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang tengah berkembang sebagai wadah terselenggaranya pendidikan Islam di
saat itu: [16]
a.
Surau
Istilah surau
di minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam system
minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang
berpungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak
laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini
semakin kuat karna struktur masyarakat minangkabau yang menganut system
matrilineal. Menurut ketentuan bahwa lakilaki tak punya kamar dirumah orang
tuanya, sehingga mereka diharuskan untuk tidur disurau. Kenyataan ini
menyebabkan surau menjadi tempat penting pendewasaan generasi Minangkabau, baik
dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan lainnya.
Fungsi surau
tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin
penting yang diperkenalkan pertama kali syekh Burhanuddin sebagai tempat
mengajarkan ajaran Islam khususnya tarekat (suluk). Sebagai lembaga pendidikan
tradisional, surau menggunakan system pendidikan halaqoh. Materi pendidikan
yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca
Al-quran. Di samping ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Seperti keIslaman, akhlak dan
ibadah, pada umumnyapendidikan ini dilaksanakan pada malam hari. Secara
bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.
b.
Meunasah
Meunasah merupakan pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari
kata Arab madrasah. Meunasah merupakan suatu bangunan yang terdapat di setiap
kampung atau desa. Bangunan ini seperti rumah, tetapi tidak mempunyai jendela
dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan
berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Meunasah secara fisik adalah, bangunan rumah panggung yang di buat pada setiap
kampung. Dan di antara fungsi meunasah adalah: Sebagai tempat upacara
keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat musyawarah dan
sebagainya, Sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca
Al-quran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan
metode ceramah satu bulan sekali.
Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi
sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat
pertemuan, bahkan juga sebagai tempat jual beli barang-barang yang tak bergerak.
Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Umumnya pendidikan
berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun. pengajaran biasanya berlangsung
malam hari, biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf hijaiyah dengan
metode mengenal huruf kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan
membaca juz amma, sambil menghafalkan surat-surat pendek. Kemudian baru
ditingkatkan dengan membaca Al-quran besar di lengkapi dengan tajwidnya. Belajar
di meunasah tidak di pungut bayaran, karena mengajar dianggap ibadah.
keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai
arti di Aceh, semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain
meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh
karena itu, tidaklah heran apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang
tinggi.
c.
Madrasah
Kalau dicermati
istilah madrasah dari aspek derivasi kata, maka madrasah merupakan isim makan
dari kata darasa yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar
bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Dalam sejarah pendidikan Islam, makna
dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat
Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang berciri khas Islam banyak menarik perhatian berkenaan dengan cita-cita
pendidikan nasional. Hal itu disebabkan karena jumlah peserta didiknya yang
signitifikan, akan tetapi juga karena karakteristiknya yang sesuai dengan
perubahan dan perkembangan zaman.
d.
Pesantren
Pesantren
merupakan lembaga khas Indonesia, karena tidak pernah ditemukan dalam peradaban
Islam di Timur Tengah. Meskipun belum diketahui secara pasti sejak kapan
pesantren muncul, namun diduga bahwa pada abad ke-16 di Giri sudah ada lembaga
seperti itu di dalam historiografi tradisional (babad) disebutkan bahwa Datuk
ri Bandang sebelum menyebarkan agama Islam ke Sulawesi Selatan konon pernah nyantri di Giri, demikian pula dengan
Sultan Zainal Abidin, Raja Ternate yang pertama memeluk Islam dikenal sebagai salah
seorang santri Sunan Giri. Di Aceh perkembangan rangkang atau pesantren sangat pesat pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), demikian juga surau di Minangkabau sudah ada pada
pertengahan abad ke-17. Di dalam pesantren diterapkan sistem pengajaran yang
bersifat individual yang disebut sorogan
maupun secara kelompok di Jawa dinamakan wetonan,
di Jawa Barat disebut banding dan di Sumatera disebut halaqah. Di Aceh biasanya dipakai cara pertama ketika membaca buku
pedoman berbahasa Melayu dengan bimbingan guru dari gampong atau teungku rangkang,
sedangkan sistem bandongan hanya
dipakai untuk mempelajari kitab berbahasa Arab di Aceh. Cara ini dilukiskan
dalam kalimat “Teungku kheun, geutanyoe
simak” yang artinya “guru berbicara,
kami menyimak”.[17]
Kehadiran
pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat, karena pesantren sebagai
lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di
sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah masyarakat tidaklah terasa asing.
Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi
penuh dari masyarakat sekitarnya. Dari persfektif kependidikan, pesantren
merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai
gelombang modernisasi. Sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan
Islam di berbagai dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan
tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.
Dalam
rentang sejarahnya yang panjang, pesantren memainkan peran penting dalam
memperkuat corak wacana Islam yang menggabungkan fiqih dan tasawuf. Secara
historis pesantren telah mengajukan versi Islam santri yang cenderung ortodoks.
Hal ini terlihat dalam kuatnya pengaruh Al-Ghazali dan versi tasawuf yang
diajarkannya terhadap dunia pesantren. Hal ini pada akhirnya lebih mendekatkan
tradisi Jawa, khususnya di Keraton Jawa, yang telah lama ada dan sekaligus
mengadakan perubahan-perubahan secara perlahan agar sesuai dengan ajaran Islam.[18]
Di sisi lain,
ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan
dari sistem kultural dan tidak dapat pula diletakkan pada semua pesantren
secara uniformitas karena setiap pesantren mempunyai keunikannya masing-masing.
Tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik pesantren itu
dari segi:
a.
Materi
pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga
pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama.sedangkan
kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab
tafsirnya kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-quran
dengan tajwid dan, aqa’id dan ilmu kalam, fikih dan usul fikih , tarikh,
tasawuf dan sebagainya.
b.
Jenjang
pendidikan
Jenjang pendidikan
dalam pesantren tidak dibatasi seperi dalam lembagalembaga pendidikan yang
memakai sistem klasikal.umumnya kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan
tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari.
6.
Materi Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam
Kurikulum serta materi Pendidikan Islam di saat masuknya Islam ke
Indonesia hingga Sebelum kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh situasi sosial
dan politik saat itu, hingga mengakibatkan sistem kurikulum dan materi pendidikan
pun bervariasi sesuia dengan konteks zamannya. Berikut ini adalah bagan
mengenai sistem kurikulum dan materi pendidikan di zaman kerajaan.[19]
Zaman Kerajaan Di Aceh
|
Samudera
Pasai
|
Kurikulum
|
Materi Pendidikan
|
Elementer
(Dasar)
|
a.
Belajar
Menulis dan membaca Hijaiyah
b.
Mempelajari
fiqih Mazhab Syafi’i
|
||
Advance
(Tinggi)
|
a.
Tajwid
b.
Lagu Kasida
c.
Pengajian
kitab
|
||
Aceh
Darussalam
|
Meunasah
(Rendah)
|
a.
Membacamenulis
b.
Arab
c.
Ilmu agama
|
|
Perguruan
Tinggi
|
a.
Teologi
b.
Metafisika
c.
Tasawuf
|
||
Zaman Kerajaan Di Jawa
|
Demak
|
Pesantren
|
a.
Pengajaran agama
b.
Kitab suluk
|
Mataram
|
Anak usia 7 tahun
|
Mengaji
Al-quran
|
|
Anak yang khatam Alquran
|
Mengkaji
kitab
|
7.
Bagan Tujuan Pendidikan Agama Islam Zaman Kerajaan Islam
Dapat di Buat bagan sebagai berikut: [20]
Zaman Kerajaan Aceh
|
Samudera Pasai
|
Tujuan
Pendidikan
|
Misi
dakwah
|
||
Cinta
kepada ilmu dan Ulama
|
||
Menjadi
Basis Pusat Pendidikan
|
||
Aceh Darussalam
|
Menjadikan
Aceh sebagai pusat pendidikan
|
|
Mengenalkan
kerajaan aceh hingga ke mancanegara
|
||
Zaman Kerajaan Jawa
|
Demak
|
Menyebarkan
Islam ke pelosok nusantara
|
Menjadikan
masyrakat yang berakhlaqul karimah
|
||
Kerajaan Mataram
|
Memperdalam
ilmu agama Islam
|
|
Menerjemahkan
berbagai kitab
|
BAB
III
PENUTUP
Pendidikan
Islam pada masa kerajaan Islam di nusantara, pendidikan Islam mulai menunjukkan
ke arah kemajuan yang cukup pesat karena hampir disetiap daerah yang
penduduknya beragama Islam berdiri masjid, surau, langgar, rumah guru,
rumah/perjamuan, pasar dan pesantren yang berfungsi di samping sebagai tempat
ibadah juga sebagai pusat kegiatan Islam termasuk pendidikan, Diakui oleh
banyak kalangan bahwa lembaga pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam
merupakan lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan sangat berjasa bagi umat Islam, karena tidak sedikit pemimpin bangsa
adalah alumni pesantren.
Peranan
yang dimainkan lembaga pendidikan Islam dalam upaya pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya serta upaya mempertahankan kemerdekaan di zaman penjajahan,
tidak terlepas dari peran besar para kiyai yang telah banyak meletakkan
dasar-dasar ilmu pengetahuan agama dan jiwa patriotisme terhadap para
murid-murid mereka serta pengaruh mereka yang luas terhadap masyarakat di
sekitarnya. Di samping itu para ulama juga membangun tali silturrahmi yang erat
dengan para pemimpin bangsa di penjuru tanah air Indonesia.
Perkembangan
pendidikan Islam di era ini tidak dapat dilepaskan dari peranan munculnya
kerajaan-kerajaan Islam saat itu. Seperti kerajaan Samudera Pasai (1297),
Kerajaan Aceh (1514), kerajaan Demak (1500). Peran kerajaan ini menurut Hasjimi
dibuktikan ketika Iskandar Muda berkuasa (1607–1636) di Aceh banyak didirikan
lembaga pengajian
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Mustofa, 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Untuk Fakultas Tarbiyah. Bandung:
Pustaka Setia
Azra,
Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama.
Bandung: Mizan.
Boedihartono,
dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia
Sistem Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasbulah. 2000. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
Hasbullah, 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Lintasan Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan. Jakarta: Rajawali Press
Ibrahim, M, et.al. 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh. Jakarta: CV. Tumaritis
Muhammad, Sabarudin, Pola dan
Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan. Jurnal
Tarbiya. Vol 1 No. 1 Tahun 2015.
Prof.H. Mahmud Yunus 1995. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Mutiara
Shodiq Mustafa, 2007. Wawasan Sejarah Indonesia dan Dunia. Solo:
Tiga Serangkai
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Hida Agung,
Zauharini, et.al. 2000. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. Bumi Aksara
[2] Azra,
Azyumardi. Jaringan Ulama. Bandung:
Mizan, 1995, Hlm. 100
[3] Yunus, Mahmud,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Agung, 1985). Hlm
54
[4] Ibid
[5] A.
Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas
Tarbiyah, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999) Hlm: 54
[6] Zauharini,
et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set
6) Hlm 135
[7]
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
(Jakarta : CV. Tumaritis,
1991), cet 2 hal 61
[8]
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
(Jakarta : CV. Tumaritis,
1991), cet 2 Hlm 75
[10] Ibid,
Hlm 88
[11] Ibid, Hlm 89
[12]
Drs.Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan &
Perkembangan (Rajawali Press, Jakarta, 1995) Hlm 34
[13]
Prof.H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Penerbit
Mutiara, Jakarta,
1995) Hlm 223
[14] Drs. Hasbullah,
Sejarah Pendidikan. Hlm 37
[15]
Drs. Shodiq Mustafa, Wawasan Sejarah Indonesia dan Dunia (Tiga
Serangkai, Solo, 2007) hlm.118
[16] Muhammad
Sabarudin, Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum
Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya. Vol 1 No. 1 Tahun 2015. Hlm 161
[17] Boedihartono,
dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem
Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 169
[18]
Abdul Hadi, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2010), hlm. 194
[19] Ibid Hlm
164
[20] Ibid Hlm
165