Minggu, 25 Maret 2018

Perkembangan Pendidikan Pada masa Kerajaan Islam di Jawa dan Sumatra Pra Kolonialisme


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, telah ada beberapa kerajaan Islam yang berdiri di Nusantara. Kerajan-kerajaan Islam tersebut telah mengembangkan model pendidikan dengan sistem pendidikan Islam. Model pendidikan Islam tersebut sangat berbeda dengan sistem pendidikan kolonial. Seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara, pendidikan Islam berpusat di masjid, surau, langgar atau pesantren. Sehingga pendidikan Islam di Nusantara didasarkan pada sistem kedaerahan atau tidak tidak terpusat, karena setiap daerah melaksanakan pengajaran dan pendidikan Islam di daerah masing-masing.[1]
Pendidikan Islam di Nusantara pada awal kedatangan Islam sampai masuknya ide pembaharuan pada abad ke-20 bercirikan pendidikan yang berfokus di pesantren, dayah, surau atau masjid. Muatan yang menjadi utama adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa tujuan utama pendidikan Islam pada masa awal tersebut adalah menghasilkan ulama yang ahli dibidang agama. Masyarakat yang ahli dalam bidang agama nantinya dapat mengajak masyarakat lain dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik.
Pendidikan Islam yang demikian memiliki peranan yang sanga penting dalam perkembangan bangsa. Identitas bangsa dengan segala aspeknya tidak dapat dipisahkan  dengan pendidikan Islam. Karakter bangsa Indonesia yang santun, religus, dan ramah secara alami diwarisi hingga saat ini sebagai wujud hubungan manusia dengan Tuhan atau pun aspek kemasyarakatan.[2]
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan zaman kerajaan Islam yang diberikan kepada murid di tengah keluarga, pesantren, masjid, surau dan masyarakat luas dalam meningkatkan imannya dapat membantu mereka mencapai kepercayaan diri sejati di dalam dirinya. Selain itu pendidikan masa kerajaan Islam juga mempengaruhi tingkah laku para murid. Iman yang ada pada diri murid membuat mereka bertindak secara terarah kepada suatu tujuan yang terpilih dan telah diniatkan. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas model pendidikan Islam pada masa kerajan Islam di Nusantara.

B.     Rumusan Masalah
            1.      Bagaimana landasan pendidikan masa kerajaan Islam di Nusantara?
            2.      Bagaiaman pendidikan Islam diberbagai daerah Nusantara?
            3.      Bagaimana muatan materi pendidikan masa kerajaan Islam?

   
BAB II
PEMBAHASAN 
1.          Gambaran Pendidikan yang Berlandaskan Ajaran Keagamaan Pada Masa 
         Kerajaan Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat.[3] Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang di selenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang.[4]
Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara semaksimal, dan para muballiq ketika itu melaksanakan penyiaran agama Islam kapan dan dimana saja pada setiap kesempatan dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat. Hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin, mereka mendirikan masjid sebagai tempat beribadah dan mengerjakan shalat Jumat dan pada tiap-tiap kampung, mereka mendirikan Surau (di Sumatera Barat) atau Langgar untuk mengaji dan membaca Alquran, dan sebagai tempat untuk mendirikan shalat lima waktu.
Pendidikan Islam yang berlangsung di langgar bersifat elementer, di mulai dengan mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Alquran Pendidikan semacam ini dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pengajian Alquran pada pendidikan Langgar ini dapat dibedakan atas dua tingkatan yaitu:
1)     Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan sampai bisa    membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampung.
2)    Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan pelajaran lagu, kasida, tajwid dan mengaji kitab perukunan.

2.               Pusat Pengkajian Pendidikan Kerajaan Islam di Aceh
A.             Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada 
abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-
Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 
H).[5] Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada 
zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan  
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa 
Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[6]
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.    Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.    Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c.    Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d.   Biaya pendidikan bersumber dari negara.
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.[7] Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

B.            Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[8]
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
 1)      Sebagai tempat belajar Alquran
2)   Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut :
a.       Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
b.      Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Alquran di bulan puasa.
c.       Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d.      Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri / bulan
Puasa
e.       Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
f.       Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
g.      Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[9]
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka 
di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-
pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini 
mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis 
bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh 
menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama 
dan pujangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang 
mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic 
dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad 
Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[10]
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. 
Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang 
beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-
Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, 
Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-
Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri 
yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, 
Miratul Mukmin dan lainnya.
         Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-
Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam 
dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam 
kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul 
Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh 
Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid 
yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan 
mempunyai 17 daras (fakultas). Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang 
ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi 
pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat 
mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya.  Menurut B.J. Boland, 
bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.[11]

3.             Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Kerajaan di Jawa
A.           Pendidikan Islam di Kerajaan Demak
Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.[12] Kitab keluaran Demak adalah Usul 6 Bis, yaitu kitab yang ditulis tangan berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Sarkandi. Isinya tentang dasar-dasar ilmu agama Islam. Kitab lainnya adalah Tafsir Jalalain, karangan Syekh Jalaluddin dan Jalaluddin as Suyuthi. Adapula kitab agama Islam yang hingga kini masih dikenal, yaitu Primbon, berisi catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, obat-obatan, ilmu gaib, bahkan wejangan para wali.
Selain itu, Sultan Agung memerintahkan di tiap ibukota kabupaten didirikan sebuah masjid besar, sebagai induk dari seluruh masjid dalam kabupaten tersebut dan pada tiap ibukota distrik sebuah mesjid Kawedanan. Begitu pula di desa juga didirikan masjid desa. Masjid besar dikepalai oleh seorang penghulu dan dibantu oleh 40 orang pegawainya. Masjid Kawedanan dipimpin oleh naib, dan dibantu 11 pegawainya. Sedang masjid desa dikepalai oleh modin (kayim, kaum) dengan 4 orang pembantunya. Penghulu adalah kepala urusan penyelenggaraan Islam di seluruh daerah kabupaten. Pegawai penghulu sendiri dibagi menjadi 4 golongan (bendahara, ketib/khatib, modin/muadzin, merbot). Wilayah suatu daerah dibagi atas beberapa bagian sebagai usaha untuk memajukan pendidikan dan pengajaran Islam. Pelaksanaannya di tiap-tiap bagian dipercayakan kepada beberapa orang Ketib dan dibantu oleh beberapa orang modin.[13]

B.            Pendidikan Islam di Kerajaan Mataram
Beberapa tempat Pengajian Qur’an diadakan di desa-desa. Di sana diajarkan huruf hijaiyah, membaca al Qur’an, pokok-pokok dan dasar ilmu agama Islam. Cara mengajarkannya adalah dengan menghafal. Jumlah tempat Pengajian Qur’an adalah menurut banyaknya modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian Qur’an, modin bertindak sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar, namun anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun harus belajar di Pengajaian Qur’an di desa masing-masing atas kehendak orang tuanya sendiri. Hal tersebut menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika ada anak yang berumur 7 tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan sendirinya menjadi olok-olokan teman seusianya.
Selain itu ada pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada murid-murid yang telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan. Sistem ini dipakai secara umum di seluruh Indonesia, sebelum zaman modernisasi madrasah-madrasah.
Di beberapa kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya bergelar Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi. Kitabkitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.[14]

4.         Sistem Pendidikan Islam yang berlandaskan ajaran keagamaan pada masa 
        Kerajaan Islam
Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam di Indonesia pada awal penyebarannya dan perkembangan di Indonesia sejalan dengan diawalinya sistem pembentukan masyarakat Muslim tentunya dengan proses yang panjang. Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah mereka membangun masjid, yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan, majlis ta,lim, surau, Meunasah, Rangkang dan Dayah.
Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut adalah pengajian Alquran, serta ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Di masa awal penyebaran Islam Sistem Pendidikan pada masa itu masih bersifat informal yang mana di masa itu dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Sistem Pendidikan yang terdapat dalam pola Pengajian Alquran serta pengkajian kitab pada ini dapat dibedakan atas dua tingkatan yaitu :
1)   Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampong
2)   Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan pelajaran lagu, kasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan
Sedangkan Di masa kerajaan Samudera Pasai sistem pendidikan Islam telah berkembang dengan diadakanya sistem kelembagaan untuk para pelajar (sekolah), selanjutnya Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam, system diskusi dengan para alim ulama setiap hari jum’at dengan menggunakan system halaqoh. Di perkembangan selanjutnya, sistem pendidikan Islam mulai menunjukkan keberhasilannya dengan didirikannya sebuah Lembaga Perguruan Tinggi (Universitas) yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut mengajarkan dan mengkaji kitab-kitab agama yang berbobot tinggi. Dengan sistem pendidikan seperti ini Dayahcotkala menjadi pusat pendidikan saat itu dan berjalan dengan baik. Di masa selanjutnya, Kerajaan Aceh telah membuka sistem pendidikan Islam yang luar biasa dengan menciptakan sistem pendidikan meunasah (Madrasah) dengan berbagai multi fungsi. Selain itu juga kerajaan aceh dalam bidang pendidikan telah menjalin kerjasama dengan Negara Turki guna mencari para ulama dan pujangga dalam mengajarkan ilmu teologi di kerajaan aceh.
Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.[15] Kitab keluaran Demak adalah Usul 6 Bis, yaitu kitab yang ditulis tangan berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Sarkandi. Isinya tentang dasar-dasar ilmu agama Islam. Kitab lainnya adalah Tafsir Jalalain, karangan Syekh Jalaluddin dan Jalaluddin as Suyuthi. Adapula kitab agama Islam yang hingga kini masih dikenal, yaitu Primbon, berisi catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, obat-obatan, ilmu gaib, bahkan wejangan para wali.
Selain itu, dikenal pula kitab-kitab yang dikenal dengan nama Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan lain-lain. Dimana seluruh kitab tersebut berbentuk diktat dan ditulis tangan. Terlepas dari kitabkitab agama di zaman Demak yang terbilang sedikit, dalam kenyataannya agama Islam berkembang dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dengan pesatnya. Hal ini dikarenakan peranan para Sunan dan Kyai dalam melaksanakan pendidikan dan penyiaran Islam mengikuti sistem yang telah diajarkan nabi. Selain itu, dengan memberikan suri tauladan yang baik dalam perangai dan perbuatan nyata. Adanya kebijaksanaan para wali menyiarkan agama dan memasukkan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional membuat agama Islam dapat tersebar ke seluruh kepulauan Indonesia.
Di kerajaan Mataram sendiri sistem pendidikan yang dilaksanakan pada saat itu masih bersifat informal di sebabkan karena tempat proses belajar mengajar masih diadakan di desa-desa, kemudian belum ada kebijakan khusus dari kesultanan tentang Hukum dan undang-undang pendidikan, serta pengajaran yang di berikan hanya sekitar kajian al-quran serta ilmu dasar agama Islam dengan sistem belajar menghapal.  JumlahtempatPengajianQur’an adalah menurut banyaknya modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian Qur’an, modin bertindak sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar, namun anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun Harus belajar Di Pengajian Qur’an di desa masing-masing atas kehendak orang tuanya sendiri.  Hal tersebut menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika ada anak yang berumur 7 tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan sendirinya menjadi olok-olokan teman seusianya.   
Selain itu ada pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada murid-murid yang telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan. Sistem ini dipakai secara umum di seluruh Indonesia, sebelum zaman modernisasi.
Di beberapa kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya bergelar Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi. Kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.

5.             Lembaga Pendidikan Islam Masa Kerajaan Islam
Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Para Muballigh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka seharihari. Para Muballigh itu menunjukan akhlaqul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama Islam dan mencontohperilaku mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, terbentuklah komunitaskomunitas Islam,yang tersebar di berbagai daerah yang selanjutnya disimbolkan dengan membangun masjid. Ulama dan guru-guru mulai berdatangan, pengajian-pengajian diselenggarakan dengan mengambil tempat di masjid-masjid. Tempat-tempat pengajian ini kemudian selanjutnya ada yang erkembang menjadi pondok pesantren, surau, langgar, bahkan sekolah hingga perguruan tinggi, Berikut ini adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tengah berkembang sebagai wadah terselenggaranya pendidikan Islam di saat itu: [16]
a.    Surau
Istilah surau di minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam system minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berpungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini semakin kuat karna struktur masyarakat minangkabau yang menganut system matrilineal. Menurut ketentuan bahwa lakilaki tak punya kamar dirumah orang tuanya, sehingga mereka diharuskan untuk tidur disurau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat penting pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan lainnya.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam khususnya tarekat (suluk). Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan system pendidikan halaqoh. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-quran. Di samping ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Seperti keIslaman, akhlak dan ibadah, pada umumnyapendidikan ini dilaksanakan pada malam hari. Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.
b.      Meunasah
Meunasah merupakan pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab madrasah. Meunasah merupakan suatu bangunan yang terdapat di setiap kampung atau desa. Bangunan ini seperti rumah, tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Meunasah secara fisik adalah, bangunan rumah panggung yang di buat pada setiap kampung. Dan di antara fungsi meunasah adalah: Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat musyawarah dan sebagainya, Sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca Al-quran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah satu bulan sekali.
Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat jual beli barang-barang yang tak bergerak. Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Umumnya pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun. pengajaran biasanya berlangsung malam hari, biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf hijaiyah dengan metode mengenal huruf kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma, sambil menghafalkan surat-surat pendek. Kemudian baru ditingkatkan dengan membaca Al-quran besar di lengkapi dengan tajwidnya. Belajar di meunasah tidak di pungut bayaran, karena mengajar dianggap ibadah. keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh, semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
c.       Madrasah
Kalau dicermati istilah madrasah dari aspek derivasi kata, maka madrasah merupakan isim makan dari kata darasa yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas Islam banyak menarik perhatian berkenaan dengan cita-cita pendidikan nasional. Hal itu disebabkan karena jumlah peserta didiknya yang signitifikan, akan tetapi juga karena karakteristiknya yang sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.
d.   Pesantren
Pesantren merupakan lembaga khas Indonesia, karena tidak pernah ditemukan dalam peradaban Islam di Timur Tengah. Meskipun belum diketahui secara pasti sejak kapan pesantren muncul, namun diduga bahwa pada abad ke-16 di Giri sudah ada lembaga seperti itu di dalam historiografi tradisional (babad) disebutkan bahwa Datuk ri Bandang sebelum menyebarkan agama Islam ke Sulawesi Selatan konon pernah nyantri di Giri, demikian pula dengan Sultan Zainal Abidin, Raja Ternate yang pertama memeluk Islam dikenal sebagai salah seorang santri Sunan Giri. Di Aceh perkembangan rangkang atau pesantren sangat pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), demikian juga surau di Minangkabau sudah ada pada pertengahan abad ke-17. Di dalam pesantren diterapkan sistem pengajaran yang bersifat individual yang disebut sorogan maupun secara kelompok di Jawa dinamakan wetonan, di Jawa Barat disebut banding dan di Sumatera disebut halaqah. Di Aceh biasanya dipakai cara pertama ketika membaca buku pedoman berbahasa Melayu dengan bimbingan guru dari gampong atau teungku rangkang, sedangkan sistem bandongan hanya dipakai untuk mempelajari kitab berbahasa Arab di Aceh. Cara ini dilukiskan dalam kalimat “Teungku kheun, geutanyoe simak” yang artinya “guru berbicara, kami menyimak”.[17]
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat, karena pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah masyarakat tidaklah terasa asing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Dari persfektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.
Dalam rentang sejarahnya yang panjang, pesantren memainkan peran penting dalam memperkuat corak wacana Islam yang menggabungkan fiqih dan tasawuf. Secara historis pesantren telah mengajukan versi Islam santri yang cenderung ortodoks. Hal ini terlihat dalam kuatnya pengaruh Al-Ghazali dan versi tasawuf yang diajarkannya terhadap dunia pesantren. Hal ini pada akhirnya lebih mendekatkan tradisi Jawa, khususnya di Keraton Jawa, yang telah lama ada dan sekaligus mengadakan perubahan-perubahan secara perlahan agar sesuai dengan ajaran Islam.[18]
Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula diletakkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren mempunyai keunikannya masing-masing. Tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik pesantren itu dari segi:
a.    Materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama.sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab tafsirnya kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-quran dengan tajwid dan, aqa’id dan ilmu kalam, fikih dan usul fikih , tarikh, tasawuf dan sebagainya.
b.    Jenjang pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperi dalam lembagalembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.umumnya kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari.

6.             Materi Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam
Kurikulum serta materi Pendidikan Islam di saat masuknya Islam ke Indonesia hingga Sebelum kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik saat itu, hingga mengakibatkan sistem kurikulum dan materi pendidikan pun bervariasi sesuia dengan konteks zamannya. Berikut ini adalah bagan mengenai sistem kurikulum dan materi pendidikan di zaman kerajaan.[19]








Zaman Kerajaan Di Aceh


Samudera
Pasai
Kurikulum
Materi Pendidikan
Elementer
(Dasar)
a.    Belajar Menulis dan membaca Hijaiyah
b.    Mempelajari fiqih Mazhab Syafi’i
Advance
(Tinggi)
a.    Tajwid
b.    Lagu Kasida
c.    Pengajian kitab


Aceh
Darussalam
Meunasah
(Rendah)
a.    Membacamenulis
b.    Arab
c.    Ilmu agama
Perguruan
Tinggi
a.    Teologi
b.    Metafisika
c.    Tasawuf
Zaman Kerajaan Di Jawa
Demak
Pesantren
a.    Pengajaran agama
b.    Kitab suluk
Mataram
Anak usia 7 tahun
Mengaji Al-quran

Anak yang khatam Alquran
Mengkaji kitab

7.             Bagan Tujuan Pendidikan Agama Islam Zaman Kerajaan Islam
Dapat di Buat bagan sebagai berikut: [20]




Zaman Kerajaan Aceh


Samudera Pasai
Tujuan Pendidikan
Misi dakwah
Cinta kepada ilmu dan Ulama
Menjadi Basis Pusat Pendidikan

Aceh Darussalam
Menjadikan Aceh sebagai pusat pendidikan
Mengenalkan kerajaan aceh hingga ke mancanegara


Zaman Kerajaan Jawa
Demak
Menyebarkan Islam ke pelosok nusantara
Menjadikan masyrakat yang berakhlaqul karimah
Kerajaan Mataram
Memperdalam ilmu agama Islam
Menerjemahkan berbagai kitab
 

BAB III
PENUTUP
Pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam di nusantara, pendidikan Islam mulai menunjukkan ke arah kemajuan yang cukup pesat karena hampir disetiap daerah yang penduduknya beragama Islam berdiri masjid, surau, langgar, rumah guru, rumah/perjamuan, pasar dan pesantren yang berfungsi di samping sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat kegiatan Islam termasuk pendidikan, Diakui oleh banyak kalangan bahwa lembaga pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam merupakan lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan sangat berjasa bagi umat Islam, karena tidak sedikit pemimpin bangsa adalah alumni pesantren.
Peranan yang dimainkan lembaga pendidikan Islam dalam upaya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya serta upaya mempertahankan kemerdekaan di zaman penjajahan, tidak terlepas dari peran besar para kiyai yang telah banyak meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan agama dan jiwa patriotisme terhadap para murid-murid mereka serta pengaruh mereka yang luas terhadap masyarakat di sekitarnya. Di samping itu para ulama juga membangun tali silturrahmi yang erat dengan para pemimpin bangsa di penjuru tanah air Indonesia.
Perkembangan pendidikan Islam di era ini tidak dapat dilepaskan dari peranan munculnya kerajaan-kerajaan Islam saat itu. Seperti kerajaan Samudera Pasai (1297), Kerajaan Aceh (1514), kerajaan Demak (1500). Peran kerajaan ini menurut Hasjimi dibuktikan ketika Iskandar Muda berkuasa (1607–1636) di Aceh banyak didirikan lembaga pengajian
      

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, dkk. 2010. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru.
Abdullah Mustofa, 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah. Bandung:  Pustaka Setia
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama. Bandung: Mizan.
Boedihartono, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasbulah. 2000. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
Hasbullah, 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan. Jakarta: Rajawali Press
Ibrahim, M, et.al. 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: CV. Tumaritis
Muhammad, Sabarudin, Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya. Vol 1 No. 1 Tahun 2015.
Prof.H. Mahmud Yunus 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara
Shodiq Mustafa, 2007. Wawasan Sejarah Indonesia dan Dunia. Solo: Tiga Serangkai
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hida Agung,
Zauharini, et.al. 2000. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara


[1] Hasbulah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2000, hlm, 41
[2] Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama. Bandung: Mizan, 1995, Hlm. 100
[3] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Agung, 1985). Hlm 54
[4] Ibid
[5] A. Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999) Hlm: 54
[6] Zauharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6) Hlm 135
[7] Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : CV. Tumaritis,
1991), cet 2 hal 61
[8] Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : CV. Tumaritis,
1991), cet 2 Hlm 75
[9] Ibid, Hlm 76
[10] Ibid, Hlm 88
[11]  Ibid, Hlm 89
[12] Drs.Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan &
Perkembangan (Rajawali Press, Jakarta, 1995) Hlm 34
[13] Prof.H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Penerbit Mutiara, Jakarta,
1995) Hlm 223
[14] Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan. Hlm 37
[15] Drs. Shodiq Mustafa, Wawasan Sejarah Indonesia dan Dunia (Tiga Serangkai, Solo, 2007) hlm.118
[16] Muhammad Sabarudin, Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya. Vol 1 No. 1 Tahun 2015. Hlm 161
[17] Boedihartono, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 169
[18] Abdul Hadi, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2010), hlm. 194
[19] Ibid Hlm 164
[20] Ibid Hlm 165

Perkembangan Pendidikan Pada masa Kerajaan Islam di Jawa dan Sumatra Pra Kolonialisme

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, telah ada beberapa kerajaan Islam yang ber...